Jumat, 01 Juli 2011

RAWA PENING

Dulu sewaktu kecil, sekitar tahun 70an, ketika libur sekolah dan libur lebaran, kita sering berlibur ke Salatiga tempat Bude/Pakde Mul. Perjalanan ke sana melewati Ambarawa dimana kita selalu bisa melihat Rawa Pening yang luas dan sangat bersih airnya. Saat ini rasanya kenangan itu menjadi sangat indah mengingat Rawa Pening sudah sangat berubah (kalau belum bisa dibilang rusak), Rawa Pening saat ini penuh dengan gulma enceng gondok. Cerita legenda terjadinya Rawa Pening kurang lebih begini :

Alkisah pada 1.000 tahun yang lalu hiduplah seorang Kakek yang sakti dan baik hati. Sang Kakek selalu menjadi pelindung dan panutan bagi masyarakat disekitarnya. Di desa tersebut hidup pula seorang penyihir  jahat yang selalu mengganggu ketentraman penduduk, namun karena sang Kakek si penyihir tidak bisa dengan leluasa melakukan kejahatannya.

Pada suatu hari entah mendapat kekuatan dari mana, si penyihir jahat menyihir sang Kakek baik hati menjadi seorang anak kecil yang kurus kering dengan kulit bernanah yang mengeluarkan bau amis. Karena kondisinya tersebut penduduk desa mengalungkan sebuah kelintingan di leher anak tersebut sehingga setiap kali berjalan terdengar bunyi klinting-klinting yang menjadi pertanda bagi penduduk untuk menyingkir. Karena luka dikulitnya yang terus menerus bernanah si anak kecil itu menjadi sangat pucat dan warna kulitnya menjadi kebiru-biruan sehinga dia dijuluki dengan sebutan si Biru Klinting.

Hidup si Biru Klinting sangatlah susah, karena meskipun dia dikutuk dia tetaplah seorang mansia yang membutuhkan sosialisasi dengan orang lain. Setiap kali dia ingin bermain dengan anak-anak sebayanya, dia selalu diusir disertai dengan makian dan ejekan yang menyakitkan hati. Demikian pula dengan orang-orang dewasa di desa itu tidak mau barang sedikitpun menunjukkan belas kasih kepadanya.

Meskipun penduduk desa bisa dibilang hidup cukup sandang, cukup pangan dan papan, namun tidak ada satupun yang sudi memberikan sedikit makanan kepada si Biru Klinting. Karena rasa lapar yang terus menerus menderanya dan rasa sakit yang luar biasa disekujur tubuhnya dan tidak ada satupun orang yang mau menolongnya, marahlah si Biru Kelinting. Dia bertekad akan membalas dendam kepada penduduk desa yang tidak mau menolongnya.
Namun sebelum dia melaksanakan niatnya, sekali lagi dia berkeliling desa sambil meminta pertolongan. Ternyata belum berubah, tidak ada satupun yang sudi menolongnya. Dengan sangat sedih dan marah sampailah si Biru Klinting ke ujung desa dimana ada sebuah rumah sederhana yang dihuni seorang Nenek yang sedang memasak nasi. Biru klinting sekali lagi meminta pertolongan, ternyata si Nenek adalah seorang yang baik hati, Biru Klinting diberinya makan sampai kenyang dan luka-lukanya diobati oleh si Nenek. Karena kebaikan hati si Nenek maka Biru Klinting berjanji untuk menyelamatkan Nenek tersebut, dia berpesan kepada si Nenek supaya kalau sebentar lagi ada banjir bandang, segera naik ke lesung padi supaya selamat dari banjir.

Kemudian pergilah Biru Klinting ke tengah-tengah desa dan disana dia mengumpulkan orang-orang dengan berteriak-teriak, dia menancapkan sebatang lidi di tanah. Biru Klinting berkata bahwa kalau ada seseorang yang bisa mencabt lidi tersebut, maka penduduk desa tersebut akan selamat dari mara bahaya, namun kalau tidak seorangpun yang bisa mencabutnya maka dipastikan seluruh penduduk desa akan binasa.
Ternyata setelah hampir semua orang mencoba mencabut lidi tersebut, tidak terkecuali orang tua maupun anak-anak, tidak ada seorangpun yang bisa mencabutya. Akhirnya Biru Kelinting mencabut lidi tersebut, dan ajaibnya dari lubang bekas lidi tersebut keluar air yang makin lama makin besar yang akhirnya menimbulkan banjir bandang di desa tersebut. Semua penduduk desa tersebut mati kecualisi Nenek baik hati yang selamat karena kebaikan hatinya.

Ketika air menggenangi desa tersebut, berubahlah Biru Klinting menjadi seekor ular yang sangat besar dengan mahkota di kepalanya, Biru Klinting menjadi penjaga desa tersebut yang berubah menjadi sebuah danau. Danau tersebut saat ini kita kenal dengan sebutan Rawa Pening karena kejernihan airnya.

Saat ini bila kita berjalan-jalan disekitar Rawa Pening dan mencoba bercakap-cakap dengan penduduk sekitar, beberapa di antara mereka mengaku pernah melihat Biru Klinting sedang berenang di Rawa Pening, seekor ular yang sangat besar dengan panjang mencapai 50 m dan dengan kepala yang bermahkota.

TUYUL

Saya nggak tahu pasti apakah tuyul ini memang benar-benar ada atau hanya isapan jempol belaka. Saya berpikir begitu karena masyarakat kita ini kan sukanya percaya sama hal-hal yang gaib, yang nggak bisa kita nalar dengan logika.
Terkadang hanya karena rasa iri melihat tetangga sebelah yang nggak jelas kerjanya apa, lebih sering ada di rumah daripada pergi kerja seperti orang-orang lain, tapi kok tetangga ini kelihatan lebih makmur dan sejahtera daripada tetangga yang lain, akhirnya muncul gosip dan isu bahwa dia memelihara tuyul atau babi ngepet atau pesugihan lain.
Rasa iri biasanya muncul karena seseorang tidak bisa mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan, dan hal ini bisa menjadi sangat berbahaya, terlebih bila iri hati tersebut memunculkan gosip dan isu negatif seperti soal tuyul tadi. Banyak kasus seseorang dihakimi masa karena dituduh memiliki tuyul yang sebenarnya nggak terbukti dan hanya dipicu omongan yang nggak bertanggung jawab.

Memang enak sih kalau kita "sesuatu yang bisa seperti tuyul" yang bisa kasih duit tiap hari tanpa kita capek-capek kerja. Tapi rasanya hal itu sulit terwujud, kalaupun ada tetep pasti ada sesuatu yang kita kerjakan.
Dijaman modern ini mestinya "sesuatu" itu ada untuk memudahkan kita mencari penghasilan.